Moch Eksan PARLEMEN JATIM-Penerapan Full day school (FDS) yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mundikbud) Muhadjir Effendy l...
Moch Eksan |
PARLEMEN JATIM-Penerapan Full day school (FDS) yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mundikbud) Muhadjir Effendy lewat Permen No. 23 Tahun 2017 menimbulkan polemik di masyarakat. Sikap masyarakat terbelah antara yang mendukung dengan yang menolak. Tak terkecuali ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) yang dengan tegas menolak penerapan fulld ay school.
Anggota DPRD Jawa Timur, Mochamad Eksan menegaskan, sejak awal pihaknya tidak setuju dengan penerapan sekolah sehari penuh selama lima hari atau full day school. Menurut anggota Komisi E DPRD Jatim itu, penerapan full day school kontraproduktif kalau tetap dipaksakan. Pasalnya akan terbentuk opini perseteruan antara NU yang menolak dengan Muhammadiyah yang mendukung full day school.
“Kami berharap Mendikbud segera merespon polemik ini dengan membatalkan penerapan full day school. Biarkan FDS menjadi pilihan bagi sekolah, bukan kewajiban. Jangan sampai nantinya berpotensi menimbulkan konflik sosial,” ujar politisi yang akrab disapa Eksan itu, Kamis (10/8).
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam II Jember itu menilai penerapan sekolah dari 6 hari menjadi 5 hari justru kurang efektif. Karena secara otomatis akan menambah jam belajar siswa, sehingga siswa tidak punya waktu lagi untuk belajar agama di madrasah diniyah (Madin).
Padahal, lanjut Eksan, mayoritas anak-anak di Jawa Timur itu belajar formal di sekolah pada pagi hari dan lanjut belajar agama di madin pada siang sampai menjelang petang. Karena itu, kalau fullday school diterapkan secara otomatis madin akan mati karena tidak punya siswa.
“Nantinya yang rugi banyak, bukan saja anak-anak tidak bisa belajar agama di madin, tapi juga guru madin bisa kehilangan pekerjaan. Selain itu, karakter Jawa Timur yang agamis juga bisa tergerus,” imbuh Presidium Korps Alumni HMI (KAHMI) Jember ini.
Eksan menambahkan, tanpa fullday school saja, jam belajar siswa di Indonesia mencapai 100 jam pertahun. Jumlah itu lebih banyak dari jam belajar sekolah di luar negeri. Dengan penerapan full day school maka jam belajar akan makin bertambah. Kondisi itu bisa membuat siswa jenuh hingga depresi.
Selain itu, dengan pelaksanaan sekolah 5 hari, waktu anak di luar sekolah menjadi lebih banyak. Hal itu justru meningkatkan potensi kerawanan sosial terhadap siswa. Sebab, pengaruh negatif yang mengancam anak-anak jauh lebih tinggi, ketimbang saat mereka dalam lingkungan sekolah.
“Saya kira tempat yang paling aman itu di sekolah, di sana ada guru yang menjaga dan mendidik siswa. Di sekolah juga ada sistem yang sudah berjalan yang bisa mengontrol siswa. Karena itu pengaruh negatif bisa tereliminir,” tandas Wakil Sekretaris PCNU Jember tersebut.
Wakil Ketua DPW Partai NasDem Jatim Bidang Agama dan Masyarakat Adat itu menjelaskan, kalau melihat karakteristik, tradisi dan sosiologis masyarakat Jawa Timur, justru yang tepat pas itu bukan full day school tapi Islamic Boarding School atau sekolah dengan asrama.
Eksan menyontohkan, pondok pesantren adalah contoh dari sistem pendidikan Islamic Boarding School. Keberhasilan sistem ini sudah teruji, terbukti pondok pesantren melahirkan sumberdaya manusia yang bermental kuat, cerdas dan mandiri, dengan pondasi agama yang kuat.
“Banyak pemimpin yang lahir dari pondok pesantren. Itu bukti secara empiris sistem pendidikan Islamic Boarding School seperti pondok pesantren lebih teruji ketimbang fullday school yang mengadopsi sistem pendidikan barat (luar negeri-red),” urai bapak dua anak itu.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Suli Da’im membeberkan, yang harus dipahami masyarakat, bahwa Permen No.23 tahun 2017 merupakan hasil proyeksi dari PP No.19 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter ( P.2.K ) bukan Full Day School.
Politisi PAN ini menjelaskan, penerapan P.2.K merupakan gabungan dari Kurikulum 13 dan P2K yang sangat bermanfaat bagi guru pada tahun sebelumnya dalam rangka mendapat tunjangan profesi guru (TPG) bagi para guru. Sebab di sekolah induknya kurang memenuhi 24 jam, maka harus mencari tambahan jam ke tempat lain.
Jika tidak memenuhi itu, maka para guru tidak menerima TPG dan bahkan untuk memenuhi itu guru-guru harus mengeluarkan jutaan rupiah. Ironisnya lagi, jika guru tersebut sudah senior harus jauh-jauh menambah jam. Dengan PP.19 guru harus menetap disekolah induknya tidak lagi harus mengajar diluar cukup dengan tugas tambahan ekstra,kokurikuler, wali kelas,dan tugas lainnya.
“Permen No. 23/2017 itu sejatinya penguatan pendidikan karakter, bukan full day school. Jadi jangan salah memahami apalagi sampai membuat polemik. Saya kira perlu sosialisasi saja kepada masyarakat,” pungkas mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Jatim itu.
COMMENTS