PARLEMEN JATIM-Ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa T...
PARLEMEN
JATIM-Ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Timur menggeruduk gedung
parlemen. Buruh menyampaikan aspirasi ke anggota parlemen karena menuding
Pemprov Jatim telah melanggar kesepakatan terkait penetapan Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK).
Menanggapi
tuntutan buruh, Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hartoyo menegaskan, UMK yang
diprotes tersebut tidak sesuai rekom Kabupaten/Kota yang diusulkan ke gubernur.
Hartoyo mengaku mengundang para pihak (buruh dan Disnakertrans) setelah
kesepakatan yang dibuat tanggal 10 November kemarin. Namun surat baru nyampai
pada tanggal 20 November.
Menurut mantan anggota Komisi A DPRD Jatim itu
menilai ada penafsiran yang beda terhadap PP No 78 sehingga menjadi pedoman
Pergub 75/2017.”Kenapa di DKI Jakarta bisa, di Jatim tidak bisa,” papar
Hartoyo, Senin (20/11)
Politisi asal Partai Demokrat itu tidak bisa
berbuat banyak karena PP No 78 yang membuat adalah pemerintah pusat. Komisi E
hanya bisa berharap agar gubernur menyampaikan ke pusat agar PP direvisi karena
selama ini buruh keberakatan dengan adanya regulasi itu.
“UMK tetap berlaku dan tidak dapat
dipengaruhi. Jika ada revisi, mungkin ada upaya-upaya lain, “terangnya.
Sekretaris
KSPI Jatim, Jazuli mengatakan, tanggal 10 November lalu telah dibuat
komitmen bersama dengan perwakilan dari pemprov, dan Komisi E DPRD Jatim.
Dimana kedua pihak tersebut sepakat untuk melakukan pembahasan terlebih dulu
sebelum ditetapkan.
Poin kedua, gubernur tidak akan mengembalikan usulan
bupati/walikota yang telah merekomendasikan UMK lebih besar dari pasal 4
PP Nomer 78 tahun2015 tentang Pengupahan. Selain itu, gubernur menegur
daerah-daerah yang belum merekomendasikan UMK.
“Namunya faktanya tanggal 17 November
kemarin gubernur keluarkan SK UMK. Padahal banyak yang salah dan janggal.
Yang pasti pemprov telah ingkari komitmen bersama,” ungkap Jazuli setelah
beraudensi dengan Komisi E DPRD Jatim.
Jazuli menegaskan, kesalahan dalam
penghitungan UMK adalah hanya berdasarnya pasal 44 PP nomer 78, dimana
UMK tahun 2017 ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Seharusnya
penghitungan UMK berdasarkan pasal 63, dimana daerah-daerah diluar ring 1 yang
UMK-nya Rp 1,4 – Rp 1,5 juta harunsya penyesuaian berdasarkan survey Kebutuhan
Hidup Layak (KHL). Sumber disparitas upah diakibatkan karena pemprov
tidak cermat memahami aturan yang ada.
“Namun itu tidak diakui pemerintah,
tidak gunakan formula seperti di pasal 63. Maka hal ini akan cenderung
mengakibatkan disparitas upah di Jatim, memiskinkan, dimana seharusnya
dapat upah diatas Rp 2 juta, tetapi dipaksa dibawah Rp 2 juta,” terangnya.
COMMENTS