MEMANG tak seluruh negara, memandang narkoba adalah "musuh bersama". Ada berapa negara justru melegalkan narkoba, sehingga, pr...
MEMANG tak seluruh negara, memandang
narkoba adalah "musuh bersama". Ada berapa negara justru melegalkan
narkoba, sehingga, produsen, pengedar, calo, pemakai serta pecandu
didekriminalisasi. Walaupun, kepemilikan dan penggunaannya sangat dibatasi untuk
pribadi dan dalam jumlah yang sangat kecil serta untuk jenis narkoba tertentu,
bukan untuk diperjualbelikan ke khalayak umum. Negara Ceko, Portugal, Peru,
Italia dan Amerika sendiri termasuk 5 negara yang "menghalalkan"
narkoba di wilayah negaranya maupun wilayah negara bagiannya.
Namun, mayoritas negara di dunia
memandang narkoba adalah ilegal, dan bahkan ada yang menerapkan sanksi hukum
yang sangat berat bagi pelaku peredaran narkoba, hatta death penalty (hukuman
mati). Penerapan saksi yang sangat berat seperti itu lantaran narkoba
dipandangan sebagai extraordenary crime (kejahatan luar biasa) yang
membahayakan bagi ketahanan negara, seperti China, Arab Saudi, Uni Emirat Arab,
Vietnam, Jepang, Iran, Malaysia, Singapura, Philipina, Indonesia, dan seterusnya,
yang menjatuhkan hukuman mati bagi yang menyalahggunakan narkoba.
Indonesia adalah negara yang memandang
narkoba adalah kejahatan luar biasa yang memiliki dampat yang sangat fatal bagi
kesehatan fisik, ekonomi dan sosial warga, serta ketahanan bangsa. Pemerintah
republik dari berbagai rezim selalu mengambil posisi berhadapan dengan
peredaran narkoba, serta berusaha untuk mencegah, menanggulangi dan memberantas
peredaran narkoba sampai ke akar-akarnya.
Keberadaan UU No 35/2009 tentang
Narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Nasional Propinsi
(BNNP), 1,4 triliun anggaran pemberantasan narkoba, organisasi anti-narkoba,
satgas antinarkoba, panti rehabilitas korban narkoba, adalah sederetan bukti,
posisi Indonesia yang memilih "jalan perang" dengan peredaran narkoba
di Tanah Air.
Indonesia juga telah membuktikan ke
dunia sebagai negara yang sangat tegas dan keras dalam menjatuhkan saksi bagi
bandar besar narkoba, sampai dengan hukuman mati. Ada sederetan nama yang sudah
dihukum mati di wilayah yurispredensi Indonesia, semisal Freddy Budiman
(Indonesia), Eggie Alias Doktor (Negeria), Gajetean Acena Seck Oesmani
(Sinegal), Michael Titus Egweh (Negeria), yang berasal dari warga negeri
Indonesia dan warga negara asing.
Pemerintah Jokowi JK mengeksekusi mati
narapidana narkoba di atas, untuk mengirimkan pesan kepada para bandar narkoba,
bahwa Indonesia sama sekali tidak akan mentolerir kejahatan narkoba, sebab,
telah terbukti dengan sah dan meyakinkan jelas-jelas menimbulkan korban
meninggal rata-rata 40 sampai dengan 50 orang per hari, akibat overdosis,
disamping korban yang sakit dan direhabilitasi yang dari tahun ke tahun
mengalami kenaikan jumlahnya.
BNN merilis bahwa pengguna narkoba sudah
tembus 5,9 juta pada tahun 2016 lalu. Dan, jumlah tersebut boleh jadi lebih
besar dari faktanya, dimana narkoba juga merupakan fenomena "gunung
es". Apalagi, modus operandi kejahatan narkoba terus berkembang, dan
jaringan peredarannya pun sudah sampai ke seluruh pelosok Tanah Air dan mengena
semua kelompok dan lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Pesantren pun juga
tidak bisa lagi steril dari peredaran narkoba tersebut.
Meskipun, semua menyadari bahwa narkoba
adalah ancaman nyata, dan pemerintah sendiri tegas menyatakan Indonesia
"darurat narkoba", belum ada perlawanan serius dari masyarakat dari
"bawah". Terkecuali mobilisasi perlawanan dari pemerintah dari
"atas". Akibatnya, trend peredaran narkoba menunjukkan kecenderungan
naik bukan turun. Kritik yang disampaikan Komisi II DPR RI, bahwa strategi dan
taktik pemerintah dalam perang melawan peredaran narkoba belum efektif untuk
mewujudkan Indonesia menjadi negara yang "bersih". Meskipun, support
legal, anggaran, dan kelembagaan terus-meneruskan ditingkatkan dari tahun ke
tahun.
Namun demikian, partisipasi masyarakat
dalam pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan narkoba belum maksimal.
Ormas antinarkoba di Tanah Air hanya bisa dihitung dengan jari. Granat, Gann,
dan satgas antinarkoba yang dimiliki organisasi keagamaan, belum intensif
melakukan kampanye antinarkoba di tengah-tengah masyarakat. Banyak anggota
masyarakat yang tak peduli, kecuali pada saat salah satu anggota keluarga
menjadi korban peredaran narkoba. Terutama saat berurusan dengan penegakan
hukum. Sikap apatis dan permisif masyarakat terhadap peredaran narkoba,
berlatar ketidaktahuan karena edukasi dan sosialisasi yang kurang, serta modus
operandi dari mafia narkoba yang terus berubah-ubah untuk lepas dari pantauan
aparat keamanan.
Sementara itu, pemerintah dihadapkan
pada keterbatasan anggaran yang semata bersumber dari negara. Anggaran sebesar
1,4 triliun untuk BNN sebagai leading sektor penanggulangan peredaran narkoba,
tak memadai untuk membiayai perang melawan narkoba. Jumlah ini sangat jauh bila
dibandingkan dengan anggaran Inggris dan Amerika Serikat yang mencapai 20
miliar poundsterling dan 16 miliar dolar dalam perang melawan kartel narkoba di
dua negara tersebut.
Indonesia, mau tidak mau, untuk
memenangkan perang melawan narkoba, harus membangun partisipasi masyarakat ikut
terlibat secara langsung dalam perang lawan narkoba ini. Seluruh masyarakat
tanpa terkecuali, bersama-sama memproteksi seluruh anggota keluarga
masing-masing agar tak terseret dalam kasus penyalahgunaan narkoba.
Pemerintah sendiri menyediakan layanan
rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkoba. Proses penegakan hukum menjadi
"pilihan terakhir", bila nyata-nyata seorang warga masuk dalam
jaringan peredar narkoba internasional.
*Bahan Seminar Bahaya Narkoba Bagi Siswa
SMP/SMA Kabupaten Jember, Kamis, 30 Nopember 2017, di Aula PB Sudirman Pemkab
Jember.
**Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute
dan Anggota Komisi E DPRD Propinsi Jawa Timur
COMMENTS