PARLEMEN JATIM-Wacana revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terus bergulir, khususnya terkait batas usia minimal bagi calon mempe...
PARLEMEN JATIM-Wacana
revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terus bergulir, khususnya terkait
batas usia minimal bagi calon mempelai perempuan. Bahkan Komisi VIII DPR RI
telah memerintahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak membuat
kajian tentang penambahan usia perkawinan dari segala aspek, baik
psikologis, sosiologis, kesehatan, politis maupun legalitas.
Di Jawa Timur, wacana
penambahan batas usia perkawinan juga mendapat respon dari anggota parlemen.
Agatha Retnosari, anggota Komisi E DPRD Jatim mengaku setuju terhadap wacana
revisi UU Perkawinan tersebut. Menurutnya, batas usia minimal yang ada pada UU
No.1 Tahun 1974 sudah tidak relevan. Dalam UU itu diatur batas usia minimal
bagi mempelai perempuan 16 tahun, sedangkan untuk calon mempelai pria 19 tahun.
“Saya setuju bila batas
minimal bagi calon mempelai ditambah, khususnya bagi mempelai perempuan. Paling
tidak ditambah dua tahun sehingga minimal calon mempelai perempuan berusia 18
tahun,” tutur anggota Fraksi PDI Perjuangan itu, Rabu (2/5).
Agatha mengungkapkan, untuk batas usia minimal
perempuan yang ideal memang perlu kajian secara ilmiah. Sejauh ini ada beberapa
opsi antara usia 18, 20 dan 21 tahun. Namun, bila dilihat dari jurnal yang ia
baca, setidaknya pada usia 18 tahun alat reproduksi perempuan sudah cukup
matang dan bisa dibuahi.
Alumni Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini menambahkan, dalam UU
Perlindungan Anak, usia 18 tahun masih masuk kategori anak. Karena itu, usia 16
tahun sebagai batas minimal perkawinan sudah tidak relevan sehingga harus
diubah. Apalagi perkawinan usia dini atau perkawinan anak di Jatim yang
tertinggi secara nasional.
“Pernikahan anak di
Jatim tertinggi se-Indonesia, demikian pula angka perceraian. Fakta ini
membuktikan secara psikologis mereka yang menikah dalam usia dini belum siap
secara mental,” imbuh Agatha.
Wakil Ketua DPC PDI
Perjuangan Kota Surabaya ini menjelaskan, dari sisi kesehatan perempuan yang
memasuki perkawinan harus memiliki organ reproduksi yang sudah matang. Dengan
demikian siap dibuahi melalui hubungan seksual. Sehingga anak yang dilahirkan
kelak sehat secara jasmani dan rohani.
Menurut Agatha, tidak
menutup kemungkinan bayi yang mengalami stunting ataupun gizi buruk juga
berasal dari rahim orangtua yang belum cukup umur. Pasalnya, bayi stunting itu
karena mengalami gizi buruk dan itu berasal dari orangtua yang mengalami gizi
buruk.
“Jadi ini lingkaran
setan, orangtua yang mengalami gizi buruk melahirkan bayi gizi buruk. Bayi gizi
buruk ini berpotensi mengalami stunting atau tinggi tubuh di bawah normal.
Karena itu mata rantainya harus diputus dengan mempersiapkan perkawinan secara
matang, baik fisik maupun mental,” pungkas anggota Dewan asal daerah pemilihan
Surabaya dan Sidoarjo ini. (day)
COMMENTS