PARLEMEN JATIM-DPRD Jawa Timur menghimbau SMA/SMK tidak memaksakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dalam satu sesi (shift) denga...
PARLEMEN JATIM-DPRD Jawa Timur
menghimbau SMA/SMK tidak memaksakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK)
dalam satu sesi (shift) dengan menggunakan handphone atau HP. Parlemen meminta
dinas pendidikan dan sekolah memperhatikan kemungkinan penggunaan telepon
genggam yang dapat mengurangi kejujuran.
Anggota Komisi E DPRD Jatim Agatha Renosari mengkritisi penggunaan smartphone dalam Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) yang dilaksanakan minggu lalu tersebut. "Seperti di SMKN 1 Surabaya pakai handphone, padahal tahun kemarin sudah 100 persen pakai komputer. Alasannya tidak mau pakai tiga sesi. Saya merasa itu akan terjadi ketidakadilan. Karena siapa yang akan mengecek bahwa anak-anak tidak akan akses jawaban," ujar Agatha, Senin (26/3).
Politisi asal PDI Perjuangan ini pun menghimbau agar sekolahan tidak terlalu memaksakan diri dengan menggelar ujian serentak. Meskipun berbagai upaya dilakukan. Misalkan mematikan wifi atau paket data smartphone. Namun siapa yang menjamin siswa tidak mengakses jawaban. Sebab, menurutnya, anak sekarang lebih pintar. Siapapun bisa akses jawaban dengan berbagai cara.
"Pakai PC (personal computer) soalnya terjaga. Mereka tidak bisa akses jawaban. Karena PC sudah dibersihkan. Begitu juga dengan laptop bantuan dari orang tua. Seminggu sebelumnya dibersihkan. Dikosongkan isinya, baru digunakan untuk ujian," bebernya.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Suli Da'im menambahkan, tugas negara adalah menyediakan fasilitas ujian berupa komputer. Tahun ini, sudah ada persetujuan dalam APBD untuk melakukan pengadaan komputer sebanyak 2 ribu unit. "Kita itu sistem yang satu belum selesai menggunakan lainnya. Kita dulu sudah setujui ada 2 ribu komputer. PC untuk menekan kekurangan itu," kata Suli.
Hanya saja, politisi asal Lamongan ini menyayangkan distribusinya ke sekolah yang terlalu mepet dengan pelaksanaan ujian. Selain itu, dirinya menyebutkan pembagiannya kurang merata sesuai kebutuhan. Misalkan satu sekolah membutuhkan 50 unit komputer, namun kenyataan pembagiannya hanya 10 unit. Seharusnya, ada pendataan kebutuhan komputer disetiap sekolah. Tidak dipukul rata.
"Kemarin kita sayangkan dropnya itu 3 minggu. Lalu komputer masih banyak yang baru serahkan juga ke sekolah. Perpaketnya itu sekolah mendapat 10 unit. Semestinya tidak disapu rata begitu. Tergantung kebutuhan setiap sekolah," tandasnya. (day)
COMMENTS