PARLEMEN JATIM-Pasca pelaksanaan Pilkada serentak biasanya muncul gugatan sengketa hasil pemilihan. Namun yang menjadi pro dan kontra sa...
PARLEMEN JATIM-Pasca pelaksanaan Pilkada
serentak biasanya muncul gugatan sengketa hasil pemilihan. Namun yang menjadi
pro dan kontra saat ini adalah efisiensi dibentuknya badan peradilan khusus
sengketa hasil pemilihan karena Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun
2014 tentang Pilgub, Pilbup, Pilwali menjadi
undang-undang mengamanatkan dibentuk badan peradilan khusus sebelum
pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Kondisi itu menjadi bahasan dalam
Forum Grup Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi A DPRD Jawa Timur.
FGD tersebut dihadiri oleh Guru Besar
Hukum Adminitrasi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Prof DR Philipus M
Hadjon, Guru Besar Hukum Adminitrasi Fakultas Hukum Unair, Prof DR
Tatiek Sri Djatmiati, dan Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Makasar DR Arifin Marpaung.
Menurut Tatiek, dalam Undang-Undang 10/2016, pasal 157 ayat 1 mengamanatkan perkara perselihan hasil oemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Sementara dalam ayat 2 menegaskan, badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak.
“Normanya memang mengatakan demikian dan dibutuhkan. Sementara diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi, namun itu berkaitan konstitusionalitas, legalitas,” kata Tatiek, Rabu (18/4).
Mengingat dalam undang-undang ada, maka mau tidak mau harus dibentuk badan peradilan khusus.Untuk masalah biaya bisa dilakukan diskresi tertentu.Namun nantinya badan peradilan khusus tersebut dapat terkait dengan empat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
“Kalau peradilan ya tidak, karena peradilan menurut undang-undang ya itu aja (empat peradilan dibawah MA). Maka untuk menyesuaikan undang-undang, badan peradilan khusus bisa dimasukkan ke PTUN,” terangnya.
Menurut Tatiek, dalam Undang-Undang 10/2016, pasal 157 ayat 1 mengamanatkan perkara perselihan hasil oemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Sementara dalam ayat 2 menegaskan, badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak.
“Normanya memang mengatakan demikian dan dibutuhkan. Sementara diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi, namun itu berkaitan konstitusionalitas, legalitas,” kata Tatiek, Rabu (18/4).
Mengingat dalam undang-undang ada, maka mau tidak mau harus dibentuk badan peradilan khusus.Untuk masalah biaya bisa dilakukan diskresi tertentu.Namun nantinya badan peradilan khusus tersebut dapat terkait dengan empat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
“Kalau peradilan ya tidak, karena peradilan menurut undang-undang ya itu aja (empat peradilan dibawah MA). Maka untuk menyesuaikan undang-undang, badan peradilan khusus bisa dimasukkan ke PTUN,” terangnya.
Mengingat tahun 2019 tidak bisa dibentuk
karena waktunya terlalu dekat, maka bisa dibentuk periode selanjutnya yakni
2024. Untuk sementara bisa ditangani MK karena hakimnya banyak dari hukum tata Negara
dan hukum administrasi.
Sementara Philipus M. Hadjon
menjelaskan, bahwa badan peradilan khusus tersebut bersifat adhoc karena hanya
berkerja 5 tahun sekali selama ada sengketa hasil pemilihan. Hakim-hakimnya
bisa diambilkan dari hakim PTUN. Jika disepakati badan peradilan khusus dibawah
PTUN, maka harus dilakukan perubahan ketiga terhadap Undang-undang PTUN.
“Membentuknya pakai apa, undang-undang mengatakan itu dalam undang-undang. Bukan dengan undang-undang. Jadi salah satu cara jika disepakati masuk PTUN, maka dilakukan perubahan ketiga undang-undang PTUN, baru bisa diatur peradilan khusus tadi,” terangnya.
Ketua Komisi A DPRD Jatim, Freddy Poernomo menilai tidak perlu dibentuk badan peradilan khusus karena hanya bersifat 5 tahun. Mengingat dalam yudikatif tidak menyebut ada peradilan khusus, beda halnya pengadilan khusus. Maka sengketa hasil pemilihan cukup diserahkan ke PTUN, sehingga terjadi efisiensi dalam mengambil keputusan.
“Membentuknya pakai apa, undang-undang mengatakan itu dalam undang-undang. Bukan dengan undang-undang. Jadi salah satu cara jika disepakati masuk PTUN, maka dilakukan perubahan ketiga undang-undang PTUN, baru bisa diatur peradilan khusus tadi,” terangnya.
Ketua Komisi A DPRD Jatim, Freddy Poernomo menilai tidak perlu dibentuk badan peradilan khusus karena hanya bersifat 5 tahun. Mengingat dalam yudikatif tidak menyebut ada peradilan khusus, beda halnya pengadilan khusus. Maka sengketa hasil pemilihan cukup diserahkan ke PTUN, sehingga terjadi efisiensi dalam mengambil keputusan.
“Tidak harus bentuk badan peradilan
khusus. Kalau pengadilan khusus, ya. Sengketa pilkada itu kan Cuma lima tahun
sekali. Kalau tidak ada pilkada kerjanya apa. Sengketa cukup diserahkan PTUN,”
katanya.
DPRD menginginkan adanya efisiensi dalam
mengambil kebiajakan karena jika banyak lembaga yang menangani sengketa bisa
menjadi pemborosan. Freedy menginginkan adanya review terhadap undang-undang
yang ada karena tahun 2024 dilaksanakan Pilkada serentak nasional.
“Seyogyanya badan peradilan khusus
ditiadakan karena bisa ditangani PTUN,” tegasnya.(day)
COMMENTS