20 tahun lalu, saya ikut turun ke jalan. Bersama-sama dengan elemen mahasiswa lain, ikut berdemonstrasi menuntut "Reformasi Indones...
20 tahun lalu, saya ikut turun ke jalan.
Bersama-sama dengan elemen mahasiswa lain, ikut berdemonstrasi menuntut
"Reformasi Indonesia" .
Ada enam agenda reformasi: adili
Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapus Dwifungsi
ABRI, laksanakan otonomi daerah seluas-luasnya, ciptakan pemerintah yang bersih
dari KKN, dan tegakkan supremasi hukum.
Jujur, dari enam agenda tersebut, hanya
satu agenda yang tak terlaksanakan: adili Soeharto dan kroni-kroninya.
Sedangkan, lima agenda yang lain, ada yang sudah, sedang dan terus
dilaksanakan. Khususnya, pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah yang bebas dan
bersih dari KKN, serta proses penegakan supremasi hukum.
Tiga agenda reformasi yang terakhir,
memang tak akan pernah tuntas dan habis-habisnya. Ini menyangkut amanah
Reformasi Indonesia, yang dalam proses perjalanannya tak semudah membalik
telapak tangan. Mengapa?
Pertama, bernegara, esensinya adalah
menyelenggarakan pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Otonomi daerah adalah
amanah bagi para penyelenggara pemerintah, untuk dilaksanakan seluas-luasnya,
demi kemandirian dan kesejahteraan daerah. Sayangnya, pelaksanaan otonomi
daerah ini mengalami pasang surut, banyak daerah yang masih bergantung pada
pemerintah pusat.
Kebijakan dan alokasi anggaran belum ada
yang benar-benar mandiri, sehingga daerah belum dapat mengelola rumah tangga daerah
sendiri, tanpa bergantung pada pemerintah pusat. Pusat berkuasa penuh
mengendalikan pemerintah di berbagai level. Nilai, norma, standar dan prosedur
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat,
ditentukan oleh pusat.
Kedua, berbangsa, esensinya adalah
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Dengan demikian, kebijakan dan alokasi
anggaran akan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat, adalah
pemilik kekuasaan tertinggi, yang mendapatkan pelayanan yang terbaik dari
pemerintah yang baik dan bersih. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat otomatis
akan terwujud melalui rezim peraturan dan anggaran yang pro-rakyat.
Belanja publik sampai sekarang masih di
bawah belanja pegawai. Semua anggaran, baik APBN, APBD Propinsi, APBD
Kabupaten/Kota, maupun APBDes, masih belum ideal. Belanja publik masih belum
menjadi arus utama. Anggaran sumberdaya manusia dan pembangunan infrastruktur
masih jauh di bawah belanja pegawai.
Ketiga, bermasyarakat, esensinya adalah
kesamaan di depan hukum dan pemerintah. Supremasi hukum akan menjamin
penyelenggaraan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tak ada warga kelas satu
atau kelas dua. Semua sama, kendati memiliki ragam suku, agama, ras dan adat
istiadat yang berbeda. Semua warga negara memiliki kesempatan yang sama dan
ikut serta dalam pemerintahan, juga memperoleh hak-hak konstitusionalnya.
Ketimpangan antar wilayah dan penduduk,
kesenjangan sosial dan perlakuan tidak adil, masih dirasa oleh mayoritas
penduduk. Negara masih belum hadir dalam memberikan perlindungan, kecerdasan
dan kesejahteraan umum. Banyak warga belum merasa aman dan nyaman hidup di
negeri ini. Proses penegakan hukum belum menghadiahkan negeri yang paling layak
dihuni di dunia.
Namun di balik itu semua, kita
bersyukur, Reformasi Indonesia telah menghadirkan atmosfir kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bebas. Negara menjamin kebebasan
berpendapat dan berserikat. Dan negara juga menjamin kebebasan pers. Selain, negara
menjamin kebebasan beragama dan melaksanakan ajaran agama sesuai dengan
agamanya masing-masing.
Negara sudah seperti ini, namun masih
ada sebagian kecil warga bangsa, yang menyalahgunakan kebebasan untuk untuk
merusak kebebasan itu sendiri. Warga bangsa yang memilih jalur inkonstitusional
untuk memperjuangkan ideologi dan aspirasinya. Padahal, negara sudah
menyediakan jalur konstitusional untuk memperjuangkan ideologi dan aspirasinya
masing-masing.
Indonesia, rumah kita. Rumah tempat kita
dilahirkan. Rumah tempat kita dibesarkan. Rumah tempat kita mendapatkan kasih
sayang. Rumah tempat kita berteduh dari terik matahari dan air hujan. Rumah
tempat kita beranak pinak. Rumah tempat kita menjalani hidup. Rumah tempat kita
membangun obsesi. Rumah tempat kembali keharibaanNya.
Seluruh warga bangsa adalah saudara
kita. Ibu pertiwi yang menyatukan kita dalam rumah Indonesia. Bukan salah ibu
mengandung, bukan salah kita yang lahir. Kita ditaqdir bertahan air, berbangsa
dan berbahasa yang satu, Indonesia. Sudah sewajarnya, antar saudara, saling
menjaga dan saling melindungi sama satu lain. Indonesia amanah ibu pertiwi.
Barangtentu, untuk dikembangkan bukan untuk dihancurkan.
*Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute,
dan Anggota Komisi E DPRD Propinsi Jawa Timur.
COMMENTS