Oleh Moch Eksan Dalam Grup Pengurus DPW Partai NasDem Jawa Timur, Hj Lita Machfud Arifin mengeshare video. Isinya, anak-anak sekolah yang ta...
Oleh Moch Eksan
Dalam Grup Pengurus DPW Partai NasDem Jawa Timur, Hj Lita Machfud Arifin mengeshare video. Isinya, anak-anak sekolah yang tak bisa disebut singkatan dari MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Barangtentu, ini sebuah ironi yang sangat merisaukan dan mencemaskan Ketua DPW NasDem Jawa Timur ini. Bagaimana MPR sebagai lembaga tinggi negara yang merupakan gabungan dari anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), banyak anak sekolah yang tidak mengerti singkatannya. Apalagi pada tugas dan fungsi dalam Struktur ketatanegaraan kita.
Sebagai anggota DPR/MPR, cukup beralasan, bila Lita risau dan gemas melihat kenyataan rendahnya literasi politik generasi Z yang lebih populer dengan sebutan Genzie. Sementara itu, mereka di masa depan menjadi tumpuan untuk melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa dan generasi setelahnya dalam membangun NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Rendahnya melek politik di atas, adalah akibat dari sebab Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di semua jenjang yang kurang berhasil, sekaligus sosialisasi 4 pilar persahabatan yang kurang maksimal.
Praktisnya, para guru atau dosen PPKn dan anggota MPR yang paling mempertimbangkan buruknya literasi politik kalangan pelajar dan mahasiswa ini. Penguatan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI harus dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Lita mengusulkan sosialisasi 4 pilar kebangsaan sampai ke tingkat pendidikan dasar. Segala ikhtiar untuk penguatan ideologi, konstitusi, semangat dan bentuk negara harus tetap dikemas dengan menyenangkan. Dilakukan dengan pola bermain di out door misalnya.
Jadi, penguatan sosialisasi 4 pilar persahabatan bukan mengembalikan atmosfer program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) rezim Orde Baru, namun dengan kemasan dan sajian program yang lebih kontekstual dan relevan dengan kondisi Genzie.
David Bourchier, dalam bukunya, Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the State Family, menggambarkan pola dukung Penataran P4, mulai dari 25 jam, 45 jam, 100 jam sampai 120 jam. Pola ini dilakukan sejak tahun 1979 sampai dengan tahun 1998.
Pertama, Penataran P4 pola dukung 25 jam diikuti oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat, Karang Taruna, PKK dan masyarakat umum.
Kedua, Penataran P4 pola dukung 45 jam diikuti oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Ketiga, Penataran P4 pola dukung 100 jam diikuti oleh para rektor, pejabat di lingkungan pemerintah di daerah tingkat I dan daerah tingkat II.
Keempat, Penataran P4 pola dukung 120 jam yang diikuti oleh para pejabat tinggi, perwira tinggi TNI/Polri, para anggota DPR/MPR, dan lain sebagainya.
Pola dukungan di atas, hampir mustahil dilaksanakan saat ini, apalagi di era ideologi digital. Banyak yang tak tahan duduk dan cenderung memilih pesan-pesan singkat di media sosial.
Di sinilah relevansi gagasan Lita bahwa penguatan sosialisasi 4 pilar kebangsaan diselenggarakan dengan pola utama di luar ruangan. Acara simulasi, lomba pidato atau debat, pembuatan konten, pemilihan duta Pancasila dan semacamnya bisa dikemas dengan pola bermain tersebut.
Akhirnya, saya kutipkan pernyataan Bung Karno, "Saya tidak mengatakan, bahwa saya menciptakan Pancasila. Apa yang saya kerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan saya menemukan lima butir mutiara yang indah".
Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "9 Asketisme Politik Kontribusi Surya Paloh Dalam Merestorasi Politik di Indonesia"
COMMENTS