MASA DEPAN negara ditentukan kualitas generasi mudanya. Karena itu, setiap negara di dunia ini memiliki kementerian atau instansi yang me...
MASA DEPAN negara ditentukan kualitas
generasi mudanya. Karena itu, setiap negara di dunia ini memiliki kementerian
atau instansi yang menangani masalah kepemudaan. Dengan orientasi satu;
menyiapkan generasi penerus masa depan bangsanya.
Begitu pula di Indonesia, dari pusat
hingga kabupaten, kita memiliki instansi kepemudaan. Di Jawa Timur, ada
dinas pemuda dan olahraga. Begitu pula di 38 kabupaten dan kota di provinsi
ini.
Lantas apa ukuran keberhasilan atau
output dari program di dinas tersebut? Tentu hasil akhirnya adalah kualitas
generasi muda dan menurunnya problematika yang melingkupi kaum muda.
Berhasilkah? Mari kita jawab dengan jujur.
Apakah kita akan memungkiri data dari
Badan Narkotika Nasional bahwa Indonesia darurat narkoba? Apakah kita akan
menolak beberapa riset yang menyatakan bahwa gaya hidup free-sex hampir merata
di kalangan muda? Apakah kita akan pura-pura tidak tahu bahwa di sekitar kita
terjadi dekadensi moral yang sangat serius?
Reformasi, demokrasi dan globalisasi
memang membawa efek negatif bila tidak ditangani dengan benar. Ilmuwan
sekaligus pendukung gagasan demokratisasi Joseph E. Stiglitz bahkan sudah
menyadari adanya bahaya itu. Sejak tahun 2002 lalu, dia sudah mengingatkan
dunia agar menangani dengan benar dampak dari globalisasi.
Apa yang hari ini sedang tren di negara
tetangga atau bahkan di benua Amerika sana, bisa segera menjadi tren di sini.
Semua dengan cepat tiba-tiba ada di sini. Sebut saja halloween party, valentine
day, vandalism group sampai geng motor dan lainnya. Semua itu sejatinya kita
impor.
Lalu bagaimana pemerintah provinsi,
terutama kota dan kabupaten menyikapi hal ini?
Mengacu UU No. 40/2009 tentang
Kepemudaan, generasi muda atau pemuda didefinisikan sebagai “Warga negara
Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang
berusia 16 sampai 30 tahun.
Sedangkan dalam konteks demografi dan
antropologis, generasi muda dibagi ke dalam usia persiapan masuk dunia kerja,
atau usia produktif antara 15 hingga 40 tahun.
Dari segi usia, hari ini kita menangani
transisi generasi. Istilah sekarang, dari generasi jaman old menuju kid jaman
now.. Ke depan, akan total diisi oleh generasi milenial.
Mutlak tidak bisa dengan satu
pendekatan. Apalagi pendekatan formal ala birokrasi masa lalu. Dengan pola-pola
semacam seminar, sarasehan, penyuluhan, dan sejenisnya. Tidak cukup dan tidak
efektif lagi.
Ke depan kita akan menghadapi generasi
milenial. Mereka tidak percaya lagi kepada distribusi informasi yang bersifat
satu arah. Mereka jauh lebih percaya pada user generated content (UGC) atau
informasi yang dibuat oleh perorangan. Public figur yang dipercaya. Yang
terbukti melakukan hal positif.
Pemerintah harus “membiayai”
interlekutor-interlekutor seperti itu. Bila perlu pemerintah mencetak dan
melahirkan mereka. Karena mereka lebih mampu dan dipercaya untuk menjadi juru
bicara program dan kepentingan pemerintah dalam membangun generasi
mudanya.
Medium komunikasi pemerintah dengan
mereka pun harus melalui media sosial. Karena generasi now hampir pasti
memiliki akun media sosial. Karena itu kepala daerah harus mengubah pola
pendekatan dalam membangun generasi muda ke depan.
Tanpa mengubah pola, tidak akan
maksimal. Kita hanya akan membuang APBD tanpa output yang memuaskan.
*La Nyalla Mahmud Mattalitti
**Ketua KADIN Jatim
***Ketua MPW Pemuda Pancasila Jatim
COMMENTS