Rangkaian teror yang beruntun menjelang bulan Ramadhan, di Mako Brimob, Surabaya dan Riau, membuat suasana teror yang semakin dramatis d...
Rangkaian teror yang beruntun menjelang bulan Ramadhan, di
Mako Brimob, Surabaya dan Riau, membuat suasana teror yang semakin dramatis di
seluruh Tanah Air. Terasa pengamanan dimana-mana semakin ketat, terutama di
tempat umum: bandara, terminal, stasiun, hotel, dan lain sebagainya.
Apalagi, modus teror yang melibatkan satu keluarga, dan
anak-anak yang di bawah umur, membuat publik semakin merespon dramatis. Publik
memperbincangkan kasus dengan nada heran dan penuh keprihatinan, serta tanda
tanya besar. Ternyata, ada orang tua yang melibatkan anaknya menjadi bomber
bersamanya. Gila, benar-benar gila!
Dari sekian kasus teror yang paling dramatis, barangtentu selain Bom Bali, kasus bom sekarang tak kalah dramatis. Kalau kasus Bom Bali, karena jumlah korban, tempat dan daya ledaknya, tapi kasus yang terakhir, karena pelakunya yang melibatkan ayah, ibu dan anak-anaknya sekaligus. Seluruh keluarga kompak melakukan bom bunuh diri, tanpa terkecuali. Tanda, kuatnya doktrin dan cuci otak yang sampai membuat mereka rela menempuh di jalan teror.
Sebuah jalan yang diklaim sebagai "amaliyah isytisyhadiyah" (aksi bom syahid), yang oleh masyhur para ulama, hanya dibenarkan di daerah perang. Syeikh Yusuf Qardhawi, hanya memperbolehkan di Palestina dan dalam menghadapi agresi Yahudi. Selebihnya, tidak masuk dalam darul harb, dalam penilaian ulama internasional yang paling berpengaruh di dunia tersebut.
Jadi, seluruh ulama Indonesia, sama sekali tak bisa membenarkan aksi teror di Tanah Air. Indonesia bukan darul harb, Indonesia negara damai yang memberikan tempat bagi pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Aksi teror bukan manifestasi jihad dalam Islam. Ia tak lebih dari aksi brutal, barbar dan menyalahi prinsip-prinsip qital dalam Fiqih Islam.
Dari sekian kasus teror yang paling dramatis, barangtentu selain Bom Bali, kasus bom sekarang tak kalah dramatis. Kalau kasus Bom Bali, karena jumlah korban, tempat dan daya ledaknya, tapi kasus yang terakhir, karena pelakunya yang melibatkan ayah, ibu dan anak-anaknya sekaligus. Seluruh keluarga kompak melakukan bom bunuh diri, tanpa terkecuali. Tanda, kuatnya doktrin dan cuci otak yang sampai membuat mereka rela menempuh di jalan teror.
Sebuah jalan yang diklaim sebagai "amaliyah isytisyhadiyah" (aksi bom syahid), yang oleh masyhur para ulama, hanya dibenarkan di daerah perang. Syeikh Yusuf Qardhawi, hanya memperbolehkan di Palestina dan dalam menghadapi agresi Yahudi. Selebihnya, tidak masuk dalam darul harb, dalam penilaian ulama internasional yang paling berpengaruh di dunia tersebut.
Jadi, seluruh ulama Indonesia, sama sekali tak bisa membenarkan aksi teror di Tanah Air. Indonesia bukan darul harb, Indonesia negara damai yang memberikan tempat bagi pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Aksi teror bukan manifestasi jihad dalam Islam. Ia tak lebih dari aksi brutal, barbar dan menyalahi prinsip-prinsip qital dalam Fiqih Islam.
Aksi teror tak bisa disepadankan dengan peristiwa perang
dalam sejarah kehidupan Rasulullah SAW. Aksi teror bukan perang badar, bukan
perang Hud, bukan perang Khandaq, bukan perang Hunaiy, dan lain sebagainya.
Aksi teror bukan jihad fi sabilillah, akan tetapi jihad fi sabilisyaitan.
Alih-alih, mendapat ridha Allah, dan masuk surga, akan tetapi justru ia
memperoleh kemurkaan Allah dan manusia, serta masuk neraka.
Pelaku bom bunuh diri bukan mati syahid dalam segala macam pengertiannya. Sebab, mereka tak mendapatkan kesaksian dari Allah, manusia dan alam sebagai orang yang mati di jalan Allah. Mereka bukan syahid dunya, bukan syahid akhirat, apalagi syahid dunya wal akhirat. Prof Dr KH Said Aqiel Siradj, MA, justru menyebut para pelaku bom teror dengan mati "sangit": mati terbakar bom dan " gosong" di dunia kini dan di akhirat nanti.
Pelaku bom bunuh diri bukan mati syahid dalam segala macam pengertiannya. Sebab, mereka tak mendapatkan kesaksian dari Allah, manusia dan alam sebagai orang yang mati di jalan Allah. Mereka bukan syahid dunya, bukan syahid akhirat, apalagi syahid dunya wal akhirat. Prof Dr KH Said Aqiel Siradj, MA, justru menyebut para pelaku bom teror dengan mati "sangit": mati terbakar bom dan " gosong" di dunia kini dan di akhirat nanti.
Rasulullah SAW, memperkenalkan "Jihadun Nafs"
sebagai jihad akbar dari pada Perang Badar sebagai jihad ashghar. Dalam hadits
yang sangat populer tersebut, Jihadun Nafs berkaitan dengan sebagai upaya untuk
menghadapi diri sendiri. Puasa Ramadhan adalah medan Jihadun Nafs untuk
mendidik dan melatih umat agar dapat mengalahkan dorong hawa nafsu perut dan di
bawah perut. Upaya umat mencegah dari makan, minum dan hubungan seksual sejak
terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari, adalah bukti nyata dari
Jihadun Nafs tersebut.
Hawa nafsu adalah musuh terbesar manusia dimana pun dan kapan
pun. Hawa nafsu ini bagian perhiasan kehidupan manusia yang cinta terhadap
wanita, anak, perhiasan emas, perak, kendaraan, hewan peliharaan, dan sawah
ladang. Cinta dunia adalah hal yang kodrati dan dimiliki setiap manusia tanpa
terkecuali. Namun, cinta dunia yang berlebihan, bukan lagi perhiasan dunia,
akan tetapi sumber pokok dari kesalahan, baik terhadap Allah, manusia maupun
terhadap alam.
Kerusakan di muka bumi, baik di darat maupun di laut,
berpangkal pada keserakahan yang selalu merasa kurang dan kurang. Sudah menjadi
watak, manusia ini tak ada puasnya. Anugerah alam selalu dirasa tak cukup.
Keserakaan yang mendorong eksploitasi terhadap sumberdaya manusia dan
sumberdaya alam, yang memicu perselisihan, persengketaan dan peperangan.
Para ulama fiqih, menyebutkan, perang itu fardu kifayah, kewajiban sosial, yang gugur bila salah satu warga bangsa melakukannya. Sementara, Jihadun Nafs itu fardu ain, kewajiban personal, yang gugur bila seluruh warga bangsa melakukannya. Perang itu jihad kecil, sedang Jihadun Nafs itu jihad besar. Warga bangsa diberi kebebasan untuk memilih, jihad kecil atau jihad besar? Barangtentu, jihad besar yang akan membawa dampak perdamaian dan harmoni sosial.
Puasa adalah pembangunan manusia. Suatu ikhtiar ilahiyah untuk memobilisasi kaum muslimin dalam damai dan harmoni secara kolektif dan massif. Hari-hari di bulan Ramadhan, mendorong setiap orang berdamai dengan Allah, melalui amal ibadah dan amal shaleh yang ditingkatkan. Sayyid Husein Nasr mengatakan, barangsiapa yang bisa berdamai dengan Allah, maka ia pasti bisa berdamai dengan manusia, dan juga dengan alam. Islam itu esensinya damai dan perjuangan menghadirkan perdamaian di muka bumi.
Para ulama fiqih, menyebutkan, perang itu fardu kifayah, kewajiban sosial, yang gugur bila salah satu warga bangsa melakukannya. Sementara, Jihadun Nafs itu fardu ain, kewajiban personal, yang gugur bila seluruh warga bangsa melakukannya. Perang itu jihad kecil, sedang Jihadun Nafs itu jihad besar. Warga bangsa diberi kebebasan untuk memilih, jihad kecil atau jihad besar? Barangtentu, jihad besar yang akan membawa dampak perdamaian dan harmoni sosial.
Puasa adalah pembangunan manusia. Suatu ikhtiar ilahiyah untuk memobilisasi kaum muslimin dalam damai dan harmoni secara kolektif dan massif. Hari-hari di bulan Ramadhan, mendorong setiap orang berdamai dengan Allah, melalui amal ibadah dan amal shaleh yang ditingkatkan. Sayyid Husein Nasr mengatakan, barangsiapa yang bisa berdamai dengan Allah, maka ia pasti bisa berdamai dengan manusia, dan juga dengan alam. Islam itu esensinya damai dan perjuangan menghadirkan perdamaian di muka bumi.
*Moch Eksan
**Penulis Buku: "Dari Bom Bali Sampai Kuningan, Mencari
Akar Terorisme Di Tanah Air" ***Pendiri Eksan Institute dan Anggota Komisi
E DPRD Provinsi Jawa Timur.
COMMENTS