PARLEMEN JATIM - Anggota Komisi I DPR RI, Tb Hasanuddin mempertanyakan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menetapkan status dar...
PARLEMEN JATIM - Anggota Komisi I DPR RI, Tb Hasanuddin mempertanyakan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menetapkan status darurat sipil sebagai landasan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penerapan penjarakan fisik demi mencegah penularan Covid-19 di Indonesia. Ia mempertanyakan hubungan darurat sipil dengan pandemi virus corona di Indonesia.
"Status darurat sipil atau militer merujuk pada Perppu No 23/1959 tentang Pencabutan UU No. 74/1957 (Lembaran Negara No 160/1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya," tegas Tb Hasanuddin melalui keterangan tertulis, Selasa (31/3).
Sekretaris Militer Presiden di era Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono itu menilai, Perppu 23/1959 tidak mengatur kondisi bencana pandemik/wabah penyakit. Perppu 23/1959 mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan perang, bencana perang, pemberontakan, kerusuhan dan bencana alam. Ia juga mengungkapkan Perppu 23/1959 memiliki semangat militeristik dan tersentral kepada Pemerintah Pusat sebagai Penguasa Darurat Sipil/Militer.
Selain itu, Hasanuddin juga menegaskan, dalam hal ini Pasal 1 ayat (1)c tentang keadaan khusus dan keadaan bahaya negara tidak memiliki penjelasan yang cukup jelas/multitafsir.
"Perlu kebutuhan untuk menyusun parameter ketat dalam mengklasifikasi “keadaan khusus” atau keadaan yang berbahaya bagi negara," ungkap Hasanuddin yang juga purnawirawan Jenderal TNI AD bintang dua itu.
Mantan Kepala Staf Garnisun itu menilai, bila dilihat rohnya Perppu 23/1959 itu murni semacam pemulihan keamanan usai pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam yang dikhawatirkan dapat membahayakan hidup Negara, bukan untuk wabah atau pandemi.
Politisi senior PDI Perjuangan ini juga mengkhawatirkan bila diberlakukan Darurat sipil, maka aktivitas warga akan terbelenggu. Karena, dalam Perppu 23/159 disebutkan penguasa darurat sipil berhak membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan serta perdagangan serta berhak mengetahui percakapan telepon dan melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi
"Penguasa Darurat Sipil membatasi orang di luar rumah dan berhak melarang semua kegiatan publik dengan dalih negara sedang darurat. Ini cukup mengkhawatirkan, ini beda sekali dengan karantina dalam mengatasi pandemik," ujarnya.
Hasanuddin menyarankan agar pemerintah memberlakukan UU No 6/2018 secara sungguh-sungguh dan melengkapi peraturan pendukungnya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan lain lain, Ditambah UU No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit, atau membuat Perppu tentang penanggulangan bahaya corona.
"Jangan tergesa gesa bicara kerusuhan atau darurat, karena Perppu ini tak relevan diberlakukan untuk mengatasi epidemi corona," pungkas alumni Akmil 1974 itu. (day)
"Status darurat sipil atau militer merujuk pada Perppu No 23/1959 tentang Pencabutan UU No. 74/1957 (Lembaran Negara No 160/1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya," tegas Tb Hasanuddin melalui keterangan tertulis, Selasa (31/3).
Sekretaris Militer Presiden di era Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono itu menilai, Perppu 23/1959 tidak mengatur kondisi bencana pandemik/wabah penyakit. Perppu 23/1959 mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan perang, bencana perang, pemberontakan, kerusuhan dan bencana alam. Ia juga mengungkapkan Perppu 23/1959 memiliki semangat militeristik dan tersentral kepada Pemerintah Pusat sebagai Penguasa Darurat Sipil/Militer.
Selain itu, Hasanuddin juga menegaskan, dalam hal ini Pasal 1 ayat (1)c tentang keadaan khusus dan keadaan bahaya negara tidak memiliki penjelasan yang cukup jelas/multitafsir.
"Perlu kebutuhan untuk menyusun parameter ketat dalam mengklasifikasi “keadaan khusus” atau keadaan yang berbahaya bagi negara," ungkap Hasanuddin yang juga purnawirawan Jenderal TNI AD bintang dua itu.
Mantan Kepala Staf Garnisun itu menilai, bila dilihat rohnya Perppu 23/1959 itu murni semacam pemulihan keamanan usai pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam yang dikhawatirkan dapat membahayakan hidup Negara, bukan untuk wabah atau pandemi.
Politisi senior PDI Perjuangan ini juga mengkhawatirkan bila diberlakukan Darurat sipil, maka aktivitas warga akan terbelenggu. Karena, dalam Perppu 23/159 disebutkan penguasa darurat sipil berhak membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan serta perdagangan serta berhak mengetahui percakapan telepon dan melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi
"Penguasa Darurat Sipil membatasi orang di luar rumah dan berhak melarang semua kegiatan publik dengan dalih negara sedang darurat. Ini cukup mengkhawatirkan, ini beda sekali dengan karantina dalam mengatasi pandemik," ujarnya.
Hasanuddin menyarankan agar pemerintah memberlakukan UU No 6/2018 secara sungguh-sungguh dan melengkapi peraturan pendukungnya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan lain lain, Ditambah UU No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit, atau membuat Perppu tentang penanggulangan bahaya corona.
"Jangan tergesa gesa bicara kerusuhan atau darurat, karena Perppu ini tak relevan diberlakukan untuk mengatasi epidemi corona," pungkas alumni Akmil 1974 itu. (day)
COMMENTS